Gunung Wilis, Ekosistem Lerengnya, dan Sabuk Hijau Bambu

Table of Contents

Gunung Wilis menjulang di selatan Jawa Timur, dengan puncak tertinggi mencapai 2.563 meter di atas permukaan laut. 

Lerengnya membentang melintasi enam kabupaten—Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Trenggalek. 

Kawasan ini menyimpan nilai ekologis yang sangat penting—sebagai hulu air, habitat fauna dan flora, serta sebagai bagian integral dari sistem lingkungan yang menopang kehidupan manusia dan alam sekitarnya.

Lereng Gunung Wilis: lapisan ekosistem dan data penting

Di lereng Gunung Wilis, ekosistem terbagi ke dalam beberapa zona ketinggian yang saling terhubung. Di zona rendah hingga menengah (< 1.000 m di atas permukaan laut) terdapat hutan campuran dan kebun rakyat, sedangkan di zona montana (1.000 - 1.500 m) hingga zona atas (> 1.500 m) terdapat hutan montana dan vegetasi pegunungan yang mulai menipis menjelang puncak. 

Data klimatologis untuk lereng bagian selatan misalnya di Desa Jugo dan Besuki (±630 m asl) menunjukkan curah hujan rata-rata tahunan mencapai 3.459 mm, dengan dua bulan terendah hujan sekitar 76 mm (Agustus) dan 58 mm (September). 

Kondisi tersebut menunjukkan potensi besar bagi hutan sebagai penahan air dan penopang ekosistem lereng.

Namun, data terkini menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan: di lereng utara Gunung Wilis, khususnya di tiga kecamatan di Kabupaten Nganjuk, terdapat sekitar 6.192 hektar lahan hutan yang kondisinya kritis dari total sekitar 27.134 hektar hutan di wilayah tersebut. 

Mengingat pentingnya kawasan ini sebagai zona penyangga, angka tersebut menegaskan bahwa kerusakan sudah memasuki skala yang tidak bisa diabaikan.

Vegetasi Bambu

Sabuk Hijau Bambu: solusi alami yang berbasis data

Di tengah kerusakan ini, penanaman bambu sebagai “sabuk hijau” (green belt) pada lereng menjadi pelopor solusi yang layak diangkat. Mengapa bambu? Karena sejumlah penelitian menunjukkan bahwa vegetasi bambu memiliki keunggulan dalam menjaga stabilitas lereng. Sebagai contoh, penelitian di lahan hutan bambu di Desa Sanankerto, Turen, Kabupaten Malang (lur­ung > 5,33 ha) mencatat laju erosi sebesar 0,202 ton/ha pada hutan bambu—angka yang relatif rendah. Selain itu, parameter erodibilitas tanah pada lahan bambu berkisar antara 0,16-0,26, yang masuk kategori rendah-sedang. 

Data ini memperkuat argumentasi bahwa menanam bambu di lereng Gunung Wilis bukan hanya pilihan estetika atau simbolik, melainkan sebuah langkah berbasis bukti untuk menjaga tanah dari longsor dan menjaga aliran air dari puncak hingga ke hilir. Bambu dengan akar serabut rapatnya memperkuat tanah, mengurangi laju erosi, serta membantu menyimpan air hujan di lereng—yang dalam konteks Gunung Wilis dengan curah hujan ~3.400 mm/tahun menjadi sangat penting.

Argumen utama: mengapa ini penting dan mendesak

Pertama, lereng Gunung Wilis tidak bisa dianggap enteng sebagai “hanya pegunungan” — ia adalah sistem hidup yang menopang air, tanah, flora dan fauna, serta kehidupan manusia di lembah-sekitarnya. Dengan ketinggian hingga 2.563 m dan curah hujan rata-rata 3.459 mm/tahun, potensi alamnya besar. Kedua, kerusakan hutan sebesar ribuan hektar membuat sistem ini rapuh. Jika vegetasi penahan hilang, risiko erosi, longsor, dan krisis air akan meningkat.

Dengan menanam bambu sebagai sabuk hijau, kita tidak hanya mengandalkan alam pasif tetapi ikut aktif memperkuat sistem ekologis tersebut. Data laju erosi rendah pada bambu dan parameter erodibilitas yang relatif baik memberikan landasan kuat bahwa ini adalah solusi yang bukan sekadar “baik di atas kertas” tetapi terbukti secara teknis di lapangan. Apalagi, bambu dapat diintegrasikan dengan ekonomi lokal — bahan kerajinan, bambu sebagai hasil hutan bukan kayu — yang menggerakkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak alam.

Penutup: ajakan untuk bergerak

Gunung Wilis bukan hanya bagian dari lanskap Jawa Timur yang indah untuk dikagumi, tetapi tanggung jawab kita bersama untuk menjaga keberlangsungannya. Dengan menggabungkan data ketinggian, curah hujan, kerusakan hutan, dan kemampuan bambu untuk menjaga lereng, muncul sebuah kisah peluang: sabuk hijau bambu di lereng Wilis adalah sebuah tindakan konkrit yang berpijak pada fakta ekologi dan sosial.


Kini, saatnya bukan hanya berbicara tentang “menjaga alam”, melainkan melakukan langkah nyata—menanam bambu, melibatkan masyarakat, menghubungkan konservasi dengan ekonomi, agar Gunung Wilis tetap menjadi nafas panjang bagi ekosistem selatan Jawa Timur.

Posting Komentar

Program Menanam Bambu